Sabtu, 23 April 2011

Sejarah Terbentuknya Undang-Undang Perkawinan


Pada tanggal 16 Agustus 1973 pemerintah Indonesia mengajukan RUU Perkawinan untuk dijadikan dasar hukum dalam mengatur tata cara pernikahan seluruh penduduk Indonesia,namun sebulan sebelum diajukannya RUU tersebut timbul reaksi keras dari kalangan umat Islam yang menilai bahwa RUU tersebut sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam,bahkan ada anggapan yang lebih keras yang menyatakan bahwa RUU tersebut adalah upaya untuk mengkristenkan Indonesia.Di lembaga legislatif,FPP adalah fraksi yang paling keras menentang RUU tersebut kerena bertentangan dengan fikih Islam.Kamal Hasan menggambarkan bahwa semua ulama baik dari kalangan tradisional maupun modernis,dai Aceh sampai Jawa Timur,menolak RUU tersebut.[1]
            Menurut kamal hasan,setidaknya ada 11 pasal yang dipandang bertentangan dengan ajaran Islam (fikih munakhat),yaitu pasal 2 ayat 1,pasal 3 ayat 2,pasal 7 ayat 1,Pasal 8 ayat c,Pasal 10 ayat 2,Pasal 11 ayat 2,Pasal 12,Pasal 13 ayat 1 dan 2,Pasal 37,Pasal 46 ayat c dan d,Pasal 62 ayat 2 dab 9.[2]
            Melalui lobbying-lobbying antara tokoh-tokoh Islam dengan pemerintah akhirnya RUU tersebut diterima oleh kalangan Islam dengan mencoret pasal-pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam.Agar pembahasanya berjalan lancar maka dicapai kesepakatan antar fraksi PPP dan Fraksi ABRI yang isinya :
1.Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau di ubah.
2.Sebagai konsekuensi dari pada poin 1,maka alat-alat pelaksanaannya tidak akan dikurangi atau di ubah,tegasnya UU No.22 Tahun 1946 dan UU No.14 Tahun 1970 dijamin kelangsungannya.
3.Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dengan undang-undang ini,dihilangkan (didrop).
4.Pasal 2 ayat (1) dari rancangan undang-undang ini disetujui untuk dirumuskan sebagai berikut :
a.ayat (1) : Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan keprcayaan itu.
b.ayat (20 : Tiap-tiap perkawinan wajib dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5.Mengenai perceraian dan poligami diusahakan perlu ketentuan-ketentuan guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan.[3]
            Adapun pasal-pasal yang dicoret tersebut adalah Pasal 11 mengenai sistem parental dan perkawinan antar agama,Pasal 13 mengenai pertunangan,Pasal 14 mengenai tata cara gugatan perkawinan dan Pasal 62 mengenai pengangkatan anak.[4]
            Akhirnya pasal-pasal yang menimbulkan keberatan dikalangan Islam dihapuskan.Setelah melakukan rapat yang berulang-ulang,akhirnya pada tanggal 22 Desember 1973 melalui fraksi-fraksi DPR,RUU tersebut disetujui untuk disahkan.Pada tanggal 2 Januari 1974 RUU tentang perkawinan disyahkan DPR menjadi UU No 1 Tahun 1974 tentang Undang-undang Perkawinan yang selanjutnya belaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975.[5]
            Menarik untuk dicatat dengan disyahkannya UU Perkawinan No 1/Tahun 1974,hukum Islam memasuki fase baru dengan apa yang disebut fase taqnin (fase pengundangan).Banyak sekali ketentuan-ketentuan fikih Islam tentang perkawinan ditransformasikan ke dalam UU tersebut kendati modifikasi di sana-sini.
                       


[1]Kamal Hasan,Moderenisasi Indonesia:Respon Cendekiawan Muslim,(Jakarta : Lingkaran Studi Indonesia,1987),h.190.
[2]Ibid,.h.192-197.
[3]Arso Sostroadmodjo dan Wasit Aulawi,(1978) h.24.Lihat juga Rachmadi Usman,Perkembangan Hukum Perdata,dalam Dimensi sejarah san Poltik Hukum di Indonesia,(Jakarta : Grafiti,2003),h/196.
[4]Abdullah Aziz Thaba,Islam dan Negara Poitik Orde Baru,(Jakarta : Gema Insani Pers,1996),h.239-240.
[5]Rachmadi Usman,op.cit,h.198.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar