Sabtu, 23 April 2011

FIQIH


            Diantara perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan ulama fiqih klasik khususnya empat madzhab sunni yang telah kita kenal yaitu Imam Abu Hanifah,Imam Malik,Imam Ibnu Hambal,dan Imam syaf’I adalah mengenai masalah wudhu.
            Dalam hal ini para mujtahid r.a sepakat bahwa membasuh muka,membasuh kedua tangan,mengusap kepala,dan membasuh kedua kaki adalah fardu yang awjib dilakukan dalam wudhu.Namun mereka berbeda pendapat dalam hal lainya,seperti batas yang difardukan dalam hal mengusap kepala.
1.Ulama malikiyah berpendapat bahwa batas yang difardukan ketika mengusap kepala adalah seluruh kepala wajib di usap.hal ini berdasarkan firman Allah SWT :
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
Dari dalil ini ulama Malikiyah berpendapat bahwa ba pada lafadz biru’uusikum itu merupakan huruf zaidah (tanbahan) atau ishaq[1] (melekat).Sehingga memberikan pengetian bahwa yang diusap adalah keseluruhan kepala.
            Keterangan yang pasti menurut ahli lughah bahwa dalam huruf ba itu tidak terdapat makna tab’idh.
            Ibnu Burhan berkata :” Barang siapa berpendapat bahwa ba menunjukkan arti tab’idh,maka ia mengantarkan ahli bahasa pada perkara yang tidak dikenal mereka.”
            Asy-Syaukani mengatkan bahwa imam Sibawaih memungkiri bahwa ba menunujukkan arti tab’idh pada lima belas tempat dalam kitabnya.
            Dengan mengatakan bahwa huruf ba disini merupakan huruf zaidah maka dapat di ambil pengertian bahwa lafadz ba disini tidak berimplikasi apapun terhadap makna dalil tersebut sehingga pengertiannya bersifat umum (tetap seluruh kepala).seperti pada lafadz فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ .
Sedangkan mengenai ba berarti ishaq harus mencapai  padaintisecara menyeluruh.Sedangkan pengertian sebagian itu adalah majaz yang tidak boleh diartikan apabila tidak ada petunjuk mengenai hal itu.Karena dalam masalah ini tidak ada petunjuk mengenai adanya lafadz majz maka yang wajib dibasuh adalah keseluruhan kepala.Ini sama dengan firman Allah mengenai masalah tayamum :  فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْyang mana jumhurul ulama sepakat mewajibkan membasuh seluruh wajah ketika bertayamum.
            Berdasarkan dua kemungkinan ini maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dalam ayat وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْadalah seluruh bagian dari kepala.
            Selaini itu ulama Malikiyah juga berpendapat  tidak ada hadist sahih yang memenjelaskan bahwa Rosulullah SAW.pernah mencukupkan mengusap sebagian kepala saja.


2. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa yang difardukan adalahsebagian kepala saja walaupun sehelai rambut.Ada yang berpendapat tidak kurang dari tiga helai rambut.
            Menurut ulama Syafi’iyah ba pada lafadz وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْbermakna ishaq.yaitu makna yang hampir tidak pernah ada.Ayat itu bersifat mutlak bisa mengusap sebagian kepala dan juga bisa keseluruhannya dan apabila kita menerima bahwa lafadz ba itu merupakan zaidah maka ayat tersebut bersifat mujmal[2],maka untuk memahami maksudnya kita membutuhkan penjelasan Nabi SAW.Penjelasan ini telah ada,yaitu hadist Mughirah bin Syu’bah yang menerangkan bahwa Rosulullah mengusap sebagian kepala sebagaimana Beliau pernah mengusap seluruhnya.Disebutkan dalam sahih Muslim dari Hadist Nughirah bin Syu’bah r.a bahwa Rosulullah pernah berwudhu dan mengusap ubun-ubunnya serta kedua mujahnya (sepatu panjang).Pada riwayat lainnya,”Beliau SAW menegusap ubun-ubunya dan sorbannya.” .Juga hadist riwayat Abu Dawud dari Anas r.a,ia berkata,” Saya melihat Rosulullah berwudhu,sedang di atas kepala beliau ada sorban Qathariyah,maka Beliau SAW.memasukkan tangannya di bawah sorban,lalu mengusap dibagian muka dari kepalanya.”Abu Dawud tidak memberi komentar tantang hadist ini.Begitu pula hadist yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Atha’ yang menjelaskan.Nabi SAW.berwudhu lalu mengeserkan sorbannya dan mengusapbagian muka dari kepalanya.atau ia berkata,”ubun-ubunnya.”
            Hadis ini mursal,walaupun imam Asy-syafi’I tidak magamalkan hadis mursal kedudukannya menjadi kuat karena adanya hadsit muttashil sebelumnya,maka boleh di amalkan.
            Semua hadist tersebut dengan tegas menerangkan tentang kebolehan mengusap sebagian kepala.Berdasarkan hal itu maka jelaslah bahwa huruf ba itu ilshaq dan tidak mungkin zaidah.demikianlah yang diterngkan oleh ulama Syafi’iyah.
3.Ulama Hanafiyah memilki dua pendapat :
1.Ulama mutaakhirin berpendapat bahwa yang difardukan ialah seperempat kepala.
2.Ulama Mutaqddimin berpendapat bahwa yang difardukan adalah sebatas tiga jari.
            Lafadz ba tersebut Zaidah bukanlah asal,maka jelaslah bahwa ba itu untuk ishaq.dalam hal ini yang diminta adalah melekatkan tangan dengan kepala karena firman Allah SWT.”wamsahuu” disini membutuhkan maf’ul atau obyek,yaitu alat mengusap yakni yad (tangan).Dengan demikian ayat ini mengandung pengertian,”usapkanlah tanganmu menyetuh kepalamu (wamsahuu asdiyakum mulshaqtan biru uusikum).
            Kaidah mengatakan bahwa bila ba masuk pada yang diusap,diperlukan adanya alat,sebagaimana ia masuk pada alat maka ia masuk pada yang diusap.misalnya seorang berkata “Saya mengusap gelas dengan tangan saya” maka orang lain akan memahami bahwa yang diusap adalah seluruh gelas.lain halnya bila ia berkata “Saya mengusapkan tangan saya ke gelas”maka orang akan memahami bahwa ia mengusap gelas dengan seluruh tangan.Dan apabila tangan menyentuh kepala, maka biasanya tidak dapat mencangkup seluruh kepala hanya seperempatnya.
            Selain itu mereka juga dapat menerima bahwa ba adalah huruf zaidah,maka ayat tersebut bersifat mujmal,karena memungkinkan zaidah serta ishaq menurut mereka penjelasan hadist yang berkenaan dengan ayat ini menerangkan bahwa yang diminta adalah ishaq,yaitu isahq tertentu,sebatas ubun-ubun ataupun lebih.Hal ini karena rosulullah tidak membiasakan SAW,tidaklah membiasakan mengusap seluruhnya ,sebagaimana Beliau SAW.tidak mengusap kurang dari sebatas ubun-ubun atau bagian dari muka kepala sama dengan seperempat kepala.
            Inilah diantara pendapat imam-imam mujtahid rahimakumullah yang telah manyampaikan pendapatnya masing-masing.[3]














B. Permasalahan Fiqih Modern
            Diantara bentuk permasalahan baru yang ada saat ini adalah adanya Bayi Tabung/Inseminasi buatan sebagai akibat kemajuan ilmu pengatahuan modern dan teknologi kedokteran dan biologi yang mengalamai kemajuan yang sanggat pesat,dalam menanggapi masalah ini adalah suatu keniscayaan bagi umat islam  yang beriman karena fitrah mereka sebagai umat terbaik yang mampu menjaga stabilitas dunia,sebab jika kemajuan teknologi ini sampai salah digunakan maka akan mengakibatkan rusaknya peradaban umat manusia,merusak nilai-nilai agama,moral,dan budaya bangsa serta akibat negatife lainnya.
            Ada baberapa teknik Inseminasi yang telah berkembang di dunia kedokteran ,antara lain adalah :
1.Fertilazion in Vitro (FIV) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum dari sitri kemudian diproses di vitro (tabung),dan setelah terjadi pembuahan lalu ditaransfer kedalam Rahim istri.
2.Gamet Intra Felopian Tuba (GIFT) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri ,dan setelah dicampur terjadi pembuahan,maka segera ditanam di saluran telur (tuba palupi).
            Teknik kedua ini lebih alamiah dari pada teknik pertama,sebab sperma hanya bisa membahi ovum di tuba palupi setelah terjadi ejakulasi (pancaran mani) melalui hubungan seksual.
            Masalah ini telah banyak dibicarakan dikalangan Islam dan di luar kalangan Islam,baik tingkat nasional maupun internasional.Misalnya Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam muktamarnya tahun 1980 mengharamkan bayi tabung dengan donor sperma[4].Lembaga Sidang Fikih Islam OKI (Organisasi Konferensi Islam) di Amman pada tahun 1986 mengharamkan bayi tabung sperma atau ovum donor.[5]
1.Hukum Bayi Tabung Menurut Islam
            Untuk mengkaji suatu permasalahan dari segi hokum islam maka wajib memakai metode ijtihad yang lazim dipakai oleh ahli ijtihad,agar hasil ijtihad yang diperoleh sesuai denga prinsip-prinsip Al-Quran dan Sunnah yang menjadi pegangan umat Islam,sudah tentu untuk melaksanakan ijtihad mengenai masalah ini para ulama memerlukan  informasi yang cukup tentang teknik dan proses terjadinya bayi tabung dari cendekiawan muslim yang ahli dalam bidang ini,misalnya ahli kedokteran dan ahli biolagi.Dengan adanya kajian yang multidisiplioner ini,dapat ditemukan hokum yang proposional dan mendasar.
            Dari berbagai ijtihad para ulama didapatkan kesepakatan bahwa bayi tabung buatan apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami istri maka dan tidak ditransfer kedalam Rahim orang lain termasuk istri poligami,maka Islam membenarkan,baik dengan cara mangambil sperma suami kemudian disuntikan ke vagina atau uterus istri,maupun dengan cara pembuahan yang dilakukan di Rahim isteri,asal keduanya benar-benar memerlukan cara ini,karena dengan cara alamiah tidaj berhasil memperoleh anak.Dalil-dali yang digunakan adalah sebagi berikut :
“hajat (kebutuhan yang penting) diperlakukan seperti dalam keadaan terpaksa,dan keadaaan daurat itu membolehkan hal yang dilarang.”
Sebaliknya,kalau inseminasi itu dilakukan dengan bantuan donor sperma atau ovum maka hukumnya haram.dalil yang digunakan adalah :

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”(QS.Al-Isra :70)
لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
            Kedua ayat tersebut menunujukkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah sebagai mahluk yang memiliki kelebihan sehingga melebihi mahluk lainnya.Dan Allah sendiri berkenaan memuliakan manusia,maka seharusnya manusia menghormati martabatnya sendiri.Sebaliknya bayi tabing itu pada hakikatnya merendahkan martabat manusia karena sejajar dengan hewan kloning.
            Hadist Nabi :
“tidak halal bagi seseorang yang beriman pada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (vagina istri orang lain).HR Abu Daud,At-Tirmidzi,dan hadist ini dipandang sohih oleh Ibnu Hibban
            Dengan hadist ini ulama madzhab sepakat mengharamkan hubungan seksual dengan wanita hamil dari orang lain yang mempunyai ikatan perrkawinan yang sah.
Kaidah Hukum Fiqh Islam yang berbunyi
            “menghindari madarat harus didahulukan atas mencari kebaikan”
            Kita dapat memaklumi bahwa inseminasi dengan donor sperma dan atau ovum lebih mendatangkan madaratnya dari pada maslahahnya.Maslahahnya adalah bisa membantu pasangan suami istri yang kedua atau asalah satunya mandul atau adanya hambatan lain.Namun mafsadahnya jauh lebih besar,antara lain sebagai berikut :
a.Percampuran Nasab,padahal Silam sangat menjaga kesucian/kehormatan kelamin dan kemurnian nasab,karena ada kaitanya dengan kemahraman.
b.Bertentangan dengan sunnatullah atau hokum alam
c.Sama dengan zina,bila merupakan donor
d.Kehadiran anak dalam inseminasi bisa menjadikan masalah keluarga,terutama hasil donor.
e.Anak hasil inseminasi percampuran nasabnya terselubung dan sangat dirahasiakan donornya adalah lebih jelek dari anak adopsi yang pada umumnya diketahui nasabnya.
f.Bayi tabung lahir tanpa kasih saying alami,terutama bila dititipkan dalam Rahim wanita lain.
Kesimpulan
1.Inseminasi buatan dengan sel sperma dan ovum dari suami istri sendiri dan tidak ditranfer embrionya ke dalam Rahim wanita lain diperbolehkan islam.Jika keadaan yeng bersangkutan benar-benar membutuhkan,jadi bukan untuk kelinci percobaaan.
2.inseminsi buatan dengan sperma diharamkan.Hukumnya sama dengan zina dan anak yang dilahirkan diluar perkara perkawinan yang sah.


[1] Ishaq adalah salah satu fungsi dari huruf jer ba,baca terjemah Alfiyah, syarah Ibnu ‘Aqil,hlm.482
[2] Suatu istilah ilmu ushul fiqih,yaitu perkataan atau lafadz Al-Quran yang belum jelas maksudnya,tidak dapat menunjukkan arti sesungguhnya dan tidak ada keterangan lain yang menjelaskannya,dalam hal ini Rosulullah SAW.
                Jadi mujmal dapat diartikan suatu kalimat/lafadz yang memrlukan penafsiran atau keterangan yang jelas.Ketidakjelasan atau ijmal di sisi dapat berbentuk kata (ifrad) dan dapat pula bentuk kalimat (tarkib).
[3] Baca Fiqih Tujuh Madzhab,oleh Mahmud Syaltut.hlm,35-40.
[4] Muhammad Thahir Badri,”Iamam Jenazah Pratelan”,Panji Masyarakat,No.514 Tahun XXVII/1 Semtember 1986,hlm.20
[5] “Fatwa lembaga Fiqih Islam OKI Tentang Bayi Tabung “, Panji Masyarakat.No.525 Tahun XXVII/21 Desember 1986,hlm.34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar